infogeh.co, Yogkarta – Konflik antara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih terus terjadi, terutama di Kabupaten Gunungkidul. Salah satu upaya penanganan konflik yang dilakukan adalah pemanfaatan monyet ekor panjang untuk riset biomedis.
Hal ini pernah dilakukan oleh BKSDA Yogya pada tahun 2021 silam. Sebanyak 300 ekor monyet ekor panjang di Gunungkidul ditangkap lalu diekspor ke luar negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan riset biomedis.
Tahun lalu, BKSDA Yogya kembali mengusulkan kuota tangkap sebanyak 1.000 ekor monyet kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengurangi populasi monyet terutama di kawasan Gunungkidul. Penolakan itu dikarenakan belum adanya dasar ilmiah yang ada untuk menentukan kuota tangkap.
“Kalau untuk ekspor kan kita kemarin sudah mengusulkan untuk 2023 ini 1.000 ekor, cuma ternyata ditolak karena kalau berdasarkan BRIN masih harus dikaji dasar ilmiahnya,” kata Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BKSDA Yogyakarta, Kusmardiastuti, Senin (16/1).
“Jadi memang untuk tahun ini belum bisa (ekspor), karena ternyata dari hasil yang sudah keluar itu kuotanya memang ditolak, tidak ada kuota untuk tahun ini” lanjutnya.
Setelah pengajuan kuota penangkapan itu ditolak, BKSDA Yogya menurutnya akan melakukan kajian terutama terkait dengan survei populasi dan habitat monyet ekor panjang di Gunungkidul.
Hal ini karena penyebab konflik berkepanjangan antara monyet ekor panjang dengan masyarakat ini menurut dia karena adanya kerusakan habitat yang merupakan efek samping dari pembangunan.
“Kayak pembangunan JJLS (Jalan Jalur Lintas Selatan), pembangunan dari pariwisata, itu kan sedikit banyak ternyata mengusik habitat monyet,” kata dia.
Karena habitatnya rusak, monyet-monyet yang sebelumnya tinggal di atas bukit dan pegunungan lalu turun ke ladang warga bahkan permukiman penduduk untuk mencari makan. Karena itu, BKSDA Yogya menurut dia juga akan melakukan rapat koordinasi dengan stakeholder lain. Sebab, penyelesaian konflik monyet dan manusia ini menurut dia berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak lain, bukan hanya jadi tanggung jawab BKSDA saja.
“Bagaimana nanti kita memetakan wilayahnya, adakah semacam kebijakan ketika nanti ada pembangunan, karena kita juga harus mengakomodir kepentingan monyet karena mereka juga butuh tempat untuk habitatnya,” kata Kusmardiastuti.
Berita ini telah lebih dulu diterbitkan di halaman resmi Kumparan.com