Tanah & Perempuan? 

banner 728x90

Infogeh.co, Artikel – Mempertahankan tanah adalah salah satu bentuk eksistensi kuasa manusia. Berbagai bentuk penguasaan tanah melalui konsep ideologi seperti nasionalisme negara, hukum adat, kepentingan korporat hingga memandang tanah dalam problem kapitalistik.

Manusia dan perebutan tanah adalah sejarah panjang peradaban homo sapien. Meskipun secara hakikat tidak ada manusia yang benar-benar dapat memiliki tanah secara kekal. Dari pandangan teologi manusia berasal dari tanah sampai pada konflik agraria paling modern, menunjukkan bahwa tanah menjadi satu dari tiga unsur peradaban menurut Malek Bennabi selain unsur manusia dan waktu.

Tata cara negara, pemerintah, adat, dan kepentingan manusia bebas ingin menguasai tanah adalah perjalanan panjang negosiasi. Peradaban manusia berdiri, tumbang dan berganti tidak lepas dari persoalan penguasaan tanah.

“Bumi menyediakan hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk orang-orang yang serakah.” Ucap Mahatma Gandhi.

Bagaimana tanah dikuasai, dan diperebutkan maka muncul istilah “tanah wutah darah (tanah tumpah darah)” karena konflik yang paling banyak membunuh manusia adalah sejarah tanah.

Mempertahankan tanah (harta) dalam Islam juga bagian dari jihad. Secara hukum pelanggaran penguasaan tanah yang meminggirkan manusia lain jelas tidak dapat dibenarkan. Namun melihat tanah tidak hanya dilihat dari kacamata hukum saja, ada system keadilan palsu yang membuat manusia mengalami kegagalan memberikan akses tanah pada manusia. Bahkan negara yang berdiri atas landasan cinta tanah air sering gagal membangun kebersamaan untuk mengambil manfaat tanah secara adil bahkan bijak.

Di luar hukum, tanah harus dipandang sebagai modal nature (alam) ada filosofi besar bahwa tanah harus dimaknai secara berkelanjutan (sustainable). MDGs sampai SDGs menitipkan pesan bahwa manusia menempatkan bumi sebagai objek yang terus dirusak. Mereka yang memiliki akses lebih pada tanah merusaknya dengan cara kapitalistik, destruktif dan ekspolitatif.

Revolusi paradigma terhadap tanah sebagai modal berkelanjutan sama halnya menyelamatkan manusia atas persoalaan klasik yaitu ketimpangan. Negara bersama bangunan struktur manusia di dalamnya bukankah terus berlomba-loma menguasai tanah dan sekaligus mengingkari pembangunan keberlanjutan?

Tanah juga sering disebut dengan kata Ibu Bumi. Ibu bumi yang disimbolkan dengan perempuan. Dari sana manusia bisa terus survive dan menikmati tumbuhan yang hidup dari dalam tanah dan hewan yang hidup di atas tanah. Tanah sangat erat dengan perempuan yang perlu di rawat, dijaga dan dilindungi.

Merusak tanah sama halnya merusak ibu bumi, dengan kata lain merusak manusia itu sendiri. Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati (satu sentuhan kening, satu jari luas-nya bumi bertaruh nyawa). Merusak tanah juga bagian dari pengingkaran terhadap perempuan. Bahwa manusia lahir dari rahim perempuan. Laki-laki sanggup bertaruh nyawa mempertahankan tanah dan juga perempuan.

Maka Bunga Hatta mati-matian mempertahankan UUD 1945 Pasal 33 tentang, “Bumi, air dan seluruh kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat”.

Terlalu banyak pengingkaran elit bangsa kita saat ini atas mimpi founding fathers kita tentang keadilan dan kesejahteraan di atas tanah. Individu-individu yang menguasai tanah ratusan ribu hektar bukan hanya merusak alam tapi merusak kepentingan manusia atas filsafat tanah.

Tanah dan perempuan adalah simbol kejayaan sekaligus watak kejahatan manusia. Tanpa kesadaran untuk merawat, hakikat tanah dan perempuan bukan malah dijaga tapi sama-sama dirusak oleh kepentingan-kepentingan nir keberlanjutan.

Dharma Setyawan

banner 1080x1080
close
Banner iklan disini