OPINI  

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG: PATUTKAH DIPERTAHANKAN?

banner 728x90

 

Oleh : Chaidir Ali

Mahasiswa bagian HTN Fakultas Hukum Universitas Lampung

Prolog
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia memiliki sejarah dinamis pasca reformasi, terutama berkenaan dengan restorasinya. Hal tersebut tercermin dari pengaturannya yang berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pengaturan tersebut dimunculkan pada amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2000.

Berselang setahun setelahnya diadakan kembali sidang ketiga MPR RI yang membahas mengenai amandemen ketiga dari UUD NRI Tahun 1945 di mana pada kesempatan tersebut dimunculkan pengaturan mengenai rezim Pemilihan Umum dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Pada ketentuan pasal tersebut ditentukan bahwa Pemilihan Umum yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil diadakan setiap lima tahun sekali dan bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.

Berkaitan dengan hal tersebut, para sarjana hukum di Indonesia pun terpengaruh oleh dua fakta itu. Sebagian ada yang menganggap bahwa Pilkada termasuk ke dalam rezim pemilihan umum, seperti yang diungkapkan oleh Mahfud MD (2014) bahwa berdasar putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 tertanggal 22 Maret 2005 telah menegaskan Pilkada termasuk/bagian dari rezim Pemilu karena sifat asasnya yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Namun di lain pihak, sebagaimana yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra (2014) beranggapan bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rezim Pemilu, dikarenakan di saat yang bersamaan Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus Perselisihan Hasil Pilkada. Sedangkan, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi ialah memutus perselisihan hasil Pemilu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi pun mengingkari pernyataan bahwa Pilkada termasuk/bagian dari rezim Pemilu.

Membuka Lembar Kisah Pilkada Pasca-Reformasi
Paparan singkat mengenai pengaturan Pilkada dan Pemilu pasca reformasi tersebut, dirasakan penulis perlu untuk dikaji agar kemudian para pembaca dapat memahami mengenai benang merah yang hendak diangkat oleh penulis. Poin penting dari opini penulis dalam kesempatan ini ialah hendak menyoroti apakah Pilkada haruslah dilaksanakan sebagaimana halnya rezim Pemilu. Apabila kita menyoroti mengenai implementasi Pilkada di Indonesia pasca-reformasi. Maka, akan kita dapati tiga undang-undang tentang pemerintahan daerah yang memberikan suatu corak dinamika pelaksanaan Pilkada secara demokratis tersebut di Indonesia.

Ketiga undang-undang mengenai pemerintahan daerah tersebut ialah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa Pilkada dilakukan oleh DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah. Lalu, baru kemudian pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan suatu arah baru dalam rangka Pilkada secara demokratis dengan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Artinya, pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini menentukan bahwa pemilihan secara demokratis itu ialah apabila pengisian jabatan kepala daerah ini dipilih oleh masyarakat daerah itu sendiri secara langsung. Sedangkan, pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mendelegasikan pengaturan mengenai Pilkada, untuk kemudian diatur dengan undang-undang. Berdasarkan pendelegasian pengaturan tersebut pada tahun yang sama disahkanlah UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di mana pada pengaturannya menetapkan bahwa dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasaskan bebas, terbuka, jujur, dan adil.

Artinya, berdasarkan pengaturan dari UU tersebut menghendaki agar Pilkada dilakukan oleh DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana yang pernah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Arus balik cara pemilihan kepala daerah ini pun sejalan dengan pendapat Jean Grugel (2002) yang menyatakan bahwa demokratisasi bertujuan menguji dan menjelaskan proses di mana pemerintah, negara dan masyarakat berusaha untuk menjauh dari bentuk-bentuk otoritarianisme menuju bentuk-bentuk demokrasi. Tetapi ada perdebatan yang cukup besar tentang makna demokrasi, jenis demokrasi dan tingkat demokrasi yang dapat secara realistis diharapkan dalam ruang publik.

Indonesia sebagaimana yang telah diketahui oleh khalayak umum, pernah mengalami masa-masa yang penuh dengan tipu daya dan ciri otoritarianisme selama 32 tahun dalam kepemimpinan Presiden Soeharto melalui pemerintahan Orde Baru nya. Lalu, salah satu hal yang begitu pekat dari pemerintahan Orde Baru tersebut ialah pola sentralistis yang juga termasuk pemilihan kepala daerah yang ditentukan secara perwakilan.

Maka, berlakunya UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara tidak langsung. Telah menimbulkan penolakan keras oleh masyarakat. Sehingga, mengakibatkan disahkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota kembali dengan berbasis pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dan dilakukan secara serentak. Setelah itu, Pilkada pun mendapat suatu akronim baru, yaitu Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) untuk menegaskan pelaksanaan asas langsung dalam pelaksanaannya.

Keraguan yang Mulai Timbul
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah tindakan tersebut sudah tepat? Kemudian, berkenaan dengan pelaksanaan yang didasarkan pada asas luber jurdil, bisa menjamin Pemilukada secara demokratis dapat terlaksana secara konsekuen. Mengutip pendapat Jean Grugel (2002) bahwa proses demokratisasi yang bertujuan menjauhkan diri masyarakat dari otoritarianisme ialah merupakan suatu proses tanpa akhir. Sebab, ketiadaan universalisme dalam pemaknaan tingkatan dari demokratisasi itu sendiri. Untuk itu maka penulis mencoba mengajak pembaca untuk melakukan perenungan ulang berkenaan dengan konsep pemilihan secara demokratis dan upaya pencapainnya itu sendiri.

Berkenaan dengan hal tersebut, penulis pun menjadi teringat dengan suatu buku ontologis berjudul Constitutionalism and The Rule of Law Bridging Idealism and Realism (Aspinall & Sukamjati; 2017), di mana dalam buku tersebut menghimpun beberapa makalah dari para ahli yang salah satunya merupakan makalah karya Adriaan Bedner dengan judul The Need for Realism: Ideals and Practice in Indonesia’s Constitutional History. Pada tulisannya tersebut Adriaan Bedner mengemukakan suatu simpulan bahwa. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini ialah clientelism and money politics (klientilisme dan politik uang), di mana kedua hal tersebut dapat berimbas pada menurunnya kualitas pemilihan umum di Indonesia disertai dengan timbulnya perselisihan hasil pemilihan umum, dikarenakan adanya kecurangan-kecurangan tersebut.

Pendapat Adriaan Bedner pun tercermin dengan rekapitulasi penerimaan perkara oleh Mahkamah Konstitusi RI per 2017, di mana sampai saat itu Mahmakah Konstitusi RI telah menerima 910 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPKada). Hal tersebut pun menjadi suatu bukti sahih bahwa tantangan dalam pemilihan umum secara demokratis sebagaimana yang diungkapkan oleh Adriaan Bedner merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan.

Selain itu, dua pokok permasalahan penting sebagaimana yang diungkapkan Adriaan Bedner bukanlah suatu persoalan yang dapat diselesaikan dengan mudah. Sebab, pada tataran permasalahan klientilisme para penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu melaksanakan suatu pemetaan terhadap kemungkinan jaringan klientilisme oleh suatu pasangan calon kepala daerah tertentu agar dapat melakukan suatu tindakan dalam menanggulangi klientilisme tersebut.

Namun, nampaknya hal tersebut belumlah dilakukan oleh penyelenggara pemilu khususnya Bawaslu. Tentunya belum mampunya penyelenggara pemilu untuk melaksanakan tindakan tersebut akan memengaruhi kualitas Pemilukada di Indonesia khususnya pada konsep asas bebas, jujur dan adil. Sebab, klientilisme secara langsung berkenaan dengan ketiga asas tersebut di mana mengakibatkan pemilih tidak secara bebas memilih pasangan calon kepala daerah sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, pasangan calon yang melakukan klientilisme telah bertindak tidak jujur dalam proses Pemilukada dan mengakibatkan ketidakadilan bagi pasangan calon kepala daerah lainnya yang turut serta dalam suatu proses Pemilukada.

Tantangan kedua, hadir dari konsep money politic. Secara gamblang dapat kita lihat upaya nyata dari penyelenggara pemilu untuk mengatasinya melalui edukasi terhadap masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, bukan berarti hal tersebut dapat menjadi alasan untuk mengenyampingkan suatu kemungkinan bahwa money politic mampu untuk tumbuh subur di Indonesia. Hal tersebut pun dapat menjadi awal dari terpilihnya kepala daerah yang tidak kompeten dan korup guna mengembalikan modal awal yang telah ia keluarkan dari upaya money politic yang telah ia habiskan untuk dapat terpilih sebagai kepala daerah.

Pengawasan yang harus dilakukan pun menjadi suatu tantangan berkenaan dengan konsep Pemilukada. Sebab, begitu banyaknya pemilih yang harus diawasi oleh penyelenggara pemilu, dapat menjadi suatu alasan bagi penyelenggara pemilu untuk tidak optimal dalam menuntaskan kewajibannya dalam menjaga kemurnian proses Pemilukada dengan bersandarkan pada asas luber jurdil. Dapat kita bayangkan bagaimana jika Pemilukada dilakukan melalui wakil rakyat dalam wujud DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, bukankah dengan terbatasnya jumlah pemilih akan memudahkan Bawaslu untuk melakukan pengawasan. Khususnya, terhadap kedua perilaku curang sebagaimana yang dikemukakan oleh Adriaan Bedner tersebut.

Selain itu, Pemilukada sendiri diadakan tidaklah dengan harga yang murah. Sebagai contoh, sehubungan dengan akan diadakannya pemilihan umum Gubernur di Provinsi Lampung saja dianggarkan dana sebesar lebih dari 109 Milyar Rupiah. Selain pemilihan Gubernur, akan dilaksanakan pula pemilihan umum Bupati Lampung Utara dan Tanggamus yang masing-masing dianggarkan dana sebesar 32 Milyar Rupiah dan 39 Milyar Rupiah. Dapat dibayangkan apabila dana tersebut dialokasikan pada sektor-sektor lain jika Pilkada tidak dilaksanakan secara langsung.

Kemudian, perkembangan Pilkada secara langsung pun dapat dikatakan telah menemui kebuntuan. Terbukti dengan meningkatnya permohonan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dari tahun ke tahun. Sebagai ilustrasi, sejak mekanisme penyelesaian PHPKada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 tercatat terdapat 27 perkara yang diregistrasi. Lalu, pada tahun 2009 tercatat terdapat 3 perkara yang diregistrasi. Kemudian, pada tahun 2010 terjadi lonjakan yang sangat tinggi dengan adanya 230 perkara yang diregistrasi. Meskipun pada periode tahun 2011 dan 2012 terdapat penurunan yang signifikkan dengan hanya diregistrasinya 132 dan 105 perkara.

Sementara itu, PHPKada kembali mengalami fluktuasi pada kurun waktu tahun 2013 hingga 2017, di mana pada tahun 2013 terdapat 192 perkara yang diregistrasi. Berbanding terbalik pada tahun 2014 dengan hanya adanya 9 perkara yang diregistrasi. Namun, kembali naik menjadi 152 kasus pada tahun 2016. Lalu, kembali turun menjadi hanya 60 perkara pada tahun 2017. Hal tersebut setidaknya telah menunjukkan bahwa pada daerah-daerah tertentu, masyarakat daerahnya belum siap untuk dibebani dengan hak untuk memilih langsung kepala daerahnya.

Usulan Mundur untuk Melangkah Maju
Meskipun, argumen yang penulis utarakan tersebut terbilang lemah. Akan tetapi, mosi akhir yang penulis ingin ungkapkan ialah bahwa pada dasarnya Pilkada secara demokratis, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Tidak mengharuskan agar kepala daerah itu dipilih secara langsung, hal inipun semakin diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Di mana dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi sebagai pemberi tafsir resmi atas ketentuan yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945, menentukan bahwa pemilihan secara langsung oleh rakyat ataupun tidak langsung oleh rakyat merupakan sama-sama dikategorikan sebagai cara pemilihan kepala daerah yang demokratis. Namun, yang perlu ditekankan ialah bahwa dalam pemilihan kepala daerah tersebut haruslah bersandar dengan asas-asas pemilihan umum secara demokratis.

Lalu, apabila kita menggunakan pendekatan sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Marwan Hs (2016), di mana argumennya atas pemilihan kepala daerah secara demokratis ia sandarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, ditentukan bahwa merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk menentukan apakah Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat ataupun tidak. Bahkan, pembuat undang-undang juga dapat menentukan cara pemilihan kepala daerah yang berbeda-beda untuk tiap daerah.

Hal tersebut apabila dikaitkan dengan premis yang telah dikemukakan sebelumnya, mengenai fluktuasi PHPKada yang diajukan penyelesaiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Terhitung sejak 2008 hingga 2017, telah menjadi bukti shahih bahwa tidak setiap daerah siap untuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan pertimbangan kematangan sikap para pelaku pemilihan kepala daerah itu sendiri. Baik dimulai dari pemilih, penyelenggara, hingga pasangan calon kepala daerah maupun partai pengusungnya. Sebab apabila tidak demikian, seharusnya tidak ditemui pengajuan penyelesaian PHPKada dengan lonjakan yang begitu tinggi kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa dengan mengingat aspek pengalaman di Indonesia dengan telah diadakannya Pilkada secara langsung maupun tidak langsung. Seharusnya tidaklah menjadi polemik apabila kembali terjadi pergesaran dalam hal cara pemilihan kepala daerah. Hal ini dikarenakan dengan adanya fakta ketidakmatangan sikap pelaku Pilkada, sebagaimana yang tercermin dari tingginya perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan PHPKada yang apabila kita total maka telah berjumlah 910 perkara pada periode 2008-2017. Lalu, begitu tingginya biaya pemilihan kepala daerah yang apabila tidak dianggarkan demikian, dapat dialihkan untuk program kebijakan non-populer seperti pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, pengembangan UMKM yang dapat mengentaskan pengangguran dan kemiskinan, atau beasiswa pendidikan bagi putra-puri daerah dan sebagainya

Tentunya, hal tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada harus terus-menerus berkutat pada kebuntuan yang terjadi di masa kini. Setelah itu, baru apabila telah terjadi perubahan di dalam masyarakat di mana pendidikan politik telah diterima secara baik oleh masyarakat. Maka, dapat saja pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada masyarakat untuk memilihnya secara langsung. Oleh karena itu, penulis pun berkesimpulan bahwa dengan banyaknya kebuntuan yang ditemui dari pelaksanaan Pilkada secara langsung. Maka, ada baiknya apabila pemilihan kepala daerah kembali dilakukan secara tidak langsung.

banner 1080x1080
close
Banner iklan disini