Masa depan politik Indonesia

M Imron Rosadi
banner 728x90

infogeh.co, Opini – Sejak sebelum negara ini lahir hingga medio 70an, panggung politik kita didominasi oleh para idiolog serta pemikir dari berbagai daerah. Dari mereka lahirlah berbagai macam ide dan gagasan tentang Indonesia. Kini panggung ini mulai banyak diisi oleh para pengusaha, orang kaya bahkan anak keturunan pejabat.

Tak bermaksud memandang sebelah mata terhadap kapabilitas pengusaha dan anak keturunan pejabat. Selama mereka hadir di panggung ini dengan membawa motif pengabdian serta gagasan perbaikan, kita angkat topi. Tapi bila faktor pengamanan status sosial, bisnis dan isi tasnya lebih dominan, ini yang kita prihatin.

Selama 15 tahun kebelakang, politik transaksional makin menjadi di negeri ini. Minimnya perdebatan tentang gagasan serta lebih dominannya kekuatan uang dan pemodal menjadi paradoks tersendiri.

Bila kita tarik kebelakang, memang tak bijak bila sepenuhnya menyalahkan siapapun dalam kondisi yang salah kaprah ini. Kita semua bertanggungjawab atas situasinya. Maka, perbaikan aturan main dalam kontestasi ini harus dilakukan demi masa depan anak cucu kita di masa yang akan datang.

Salah satu cara yang dirasa mampu meminimalisir praktek transaksional dalam politik kita adalah dengan merubah pemilu kita kedepan dengan sistem distrik dan pembiayaan politik, penuh di biayai oleh negara.

Kita coba terapkan simulasi teknisnya seperti ini. Anggota DPR RI kedepan adalah representasi dari kabupaten/kota yang ada di Indonesia, jumlah kuota kursinya bisa disesuaikan dengan jumlah penduduk.

Misal daerah yang jumlah penduduknya dibawah satu juta, maka kuota kursi diwakili oleh satu anggota DPR, sedangkan yang diatas satu juta bisa diwakili oleh dia sampai tiga anggota DPR.

Jadi setiap partai hanya mengusulkan kader terbaiknya di dapil tersebut, berdasarkan jumlah kuota kursi yang di perebutkan. Dari berbagai nama yang diusulkan tersebut, calon yang mendapatkan suara terbanyaklah kedepan yang menjadi anggota DPR RI terpilih, mewakili kabupaten/kota (dapilnya).

Tapi yang paling krusial bila kedepan sistem ini diterapkan adalah prihal pembiayaan politiknya.
Negara, dalam hal ini APBN harus membiayai penuh pembiayaan semua partai politik yang dinyatakan sah menjadi peserta pemilu.

Itungan sederhana begini, jikai ada 18 partai politik yang saat ini lolos menjadi peserta pemilu, alokasikan saja uang dua triliun per partai. Artinya bila ditotal dana yang harus dikeluarkan negara sekitar 36 triliun. Pagu ini tidak sampai setengah dari total anggaran KPU RI yang telah ditetapkan sebesar 76,6 Triliyun.

Coba renungkan, rakyat diminta memilih 580 perwakilannya di DPR. Nantinya para wakil rakyat tersebut yang kita berikan mandat untuk mengawasi 3.000 triliun lebih uang APBN yang dikelola pemerintah. Ini belum uang swasta yang infonya perputaran tiap tahunnya mencapai 14.000 triliun.

Artinya bila anggaran 36 triliun tersebut untuk pembiayaan partai politik ini diterapkan, itu hanya sekitar satu persen dari APBN kita setahun.

Saya yakin, bila dapat terealisasi, kedepan partai politik akan disibukan dengan aktivitas pengkaderan serta penajaman ide dan gagasan dalam membangun Indonesia.

Ruang ruang publik kita nantinya akan dihiasi dengan perang ide bukan perang uang. Apapun latar belakang para calon yang ikut berkontestasi. Bisa berangkat dari aktivis, pengusaha, anak pejabat atau masyarakat biasa. Yang akan rakyat lihat adalah isi kepalanya, bukan isi tasnya.

Partai politik tidak akan tersandera lagi dengan para pemodal yang selama ini memang tidak bisa kita pungkiri menjadi donatur gelap dalam setiap perhelatan pemilu, pilpres dan pilkada.

Inilah situasi dimana secara tidak langsung gelanggang politik kita akan diisi oleh para pemikir dan penggerak, bukan boneka pemodal yang selalu asyik bermain di ruang gelap.

Lantas pertanyaannya, bagaimana antisipasi agar partai politik tidak menyalahgunakan bantuan dana 36 triliun tadi? Lakukan saja audit yang ketat, transparan kepada partai politik terhadap pengelolaan dana tersebut.

Ajak masyarakat untuk ikut mengawasi, bila terbukti ada partai yang melakukan penyalahgunaan anggaran, beri sanksi yang tegas, “diskualifikasi” dari keikutsertaan partai tersebut dalam pemilu.

M Imron Rosadi
(Penikmat Kopi Tubruk, tinggal di Bandar Lampung)

banner 1080x1080
close
Banner iklan disini