infogeh.co, History – Berawal dari pembawa iklan pentas seni di era militer Jepang berkuasa, Sofia lantas menceburkan diri dalam revolusi Indonesia sebagai seorang agen propaganda.
Penulis: Hendi Jo
Ketika disodorkan foto aktris Sofia WD saat muda, mata Otang (93) langsung bersinar. Sambil menatap terus foto tersebut, dia mengaku tahu kiprah awal Sofia sebagai seorang seniman.
Ceritanya, suatu hari di tahun 1947, Otang muda menyaksikan sebuah pertunjukan drama berjudul ‘Nantikan Aku di Seberang Jembatan Emas’ karya Mayor Mohamad Rivai, komandan Batalyon Garuda Hitam.
“Orang berbondong-bondong datang ke lapangan Talun (yang menjadi tempat pertunjukan itu diadakan) hanya untuk cari hiburan di tengah perang,” ungkap eks anggota laskar BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) Bandung itu.
Mojang Bandung yang Menawan
Salah satu pemain drama yang memukau dan menjadi buah bibir para penonton adalah seorang prajurit perempuan bernama Sersan Mayor Sofia. Dia merupakan istri dari Kapten Edi Endang, perwira bagian propaganda di lingkungan Divisi Siliwangi. Dalam pertunjukan itu, sang sersan berperan sebagai ibu dari tokoh utama yang seorang gerilyawan republik.
“Dia memang sudah memiliki watak sebagai seorang pemain pentas,” ujar Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Penampilan ciamik Sofia dalam berbagai pementasan menjadikannya banyak dilirik para produser pementasan sandiwara zaman itu. Pada Desember 1948, aktor kenamaan Ramli Rasjid mengajaknya bergabung dengan Tan Wong Bros Film untuk berkiprah dalam film Air Mata Mengalir di Tjitarum.
Menurut majalah Varia edisi 7 November 1974, Sofia didapuk sebagai pengganti aktris beken zaman itu, Miss Rukiah, yang tiba-tiba meninggal dunia.
Siapakah sebenarnya Sofia?
Sejatinya, dia adalah mojang asli Bandung. Lahir 12 Oktober 1924, dia memiliki orangtua bernama Apandi dan Sumirah. Dalam wawancaranya dengan Buana Minggu pada 1982 (kemudian dikutip dalam obituarinya pada Buana Minggu edisi 27 Juli 1986), Sofia tak bercerita banyak mengenai masa kecilnya selama di Bandung. Dia hanya berkisah pada usia ke-14 telah dilamar oleh Edi Endang, seorang pemuda yang juga asli kota kembang.
Sebagai pengantin belia, menjadikan Sofia hilang cita-cita untuk menjadi seorang seniman. Dari hari ke hari, bakat seninya malah semakin terasah. Dimulai ketika era pendudukan militer Jepang, Sofia aktif di Irama Masa, sebuah kelompok seni asal Jakarta. Karier awalnya hanya sebagai pembawa iklan.
Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Setiap insan muda dilanda semangat revolusi, tak terkecuali Sofia dan Edi. Layaknya pemuda-pemudi di zaman itu, mereka berdua memutuskan untuk bergabung dengan gerakan pembebasan tanah air.
Masuk Intelijen Diberi Pangkat Sersan Mayor
Mei 1946, Kolonel Zulkifli Lubis mendirikan Field Preparation (FP). Tanpa banyak pertimbangan, Sofia dan Edi langsung mendaftarkan diri sebagai anggota. Mereka diterima oleh perwira intelijen didikan Jepang itu dan ditempatkan di bagian propaganda bidang seni. Guna melaksanakan tugas tersebut, secara resmi Edi diberikan pangkat kapten, sedangkan Sofia sendiri diberikan pangkat sersan mayor.
FP adalah salah satu unit khusus intelijen yang dibentuk Zulkifli Lubis. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, FP memiliki fungsi melaksanakan pengamatan dan mempersiapkan situasi lapangan dengan menggalang dukungan bagi kepentingan Republik di seluruh Indonesia. Anggotanya terdiri dari berbagai macam latar belakang profesi: dari prajurit tulen lulusan PETA (Pembela Tanah Air) hingga para seniman seperti Edi dan Sofia.
Zulkifli lantas menempatkan Sofia dan Edi di Purwakarta. Baru beberapa bulan mereka tinggal di kota itu, militer Belanda melakukan agresinya yang pertama pada 21 Juli 1947. Demi melangsungkan perjuangan, kedua sejoli itu kemudian menyingkir ke Garut. Namun sesampainya di sana, situasi dan tugas membuat,mereka harus berpisah: Edi bergerilya di hutan sedangkan Sofia menjalankan gerakan dari kota.
Menyamar Istri Penjual Minyak Tanah
Hubungan jarak jauh antara Sofia dan Edi tetap terjaga, hingga suatu hari, Sofia mendapat kabar suaminya diculik lalu dibunuh secara kejam oleh Lasykar Sabilillah, sebuah unit yang menjadi bagian kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Kampung Bungur, Desa Samida pada 23 Oktober 1947.
“Berdasarkan hasil penelusuran saya, almarhum suami Bu Sofi itu katanya dimasukan ke dalam keranjang bambu lalu ditusuk-tusuk bambu runcing. Dalam kondisi sekarat, ia kemudian dihanyutkan ke Sungai Cimanuk,” ungkap Yoyo Dasriyo, jurnalis cum seniman asal Garut yang kenal baik dengan Sofia.
Bukan main sedihnya Sofia menerima kabar kematian sang suami. Dia terpukul dan lantas meminta mundur dari dunia ketentaraan. Dengan membawa anak-anaknya dan menyamar sebagai istri seorang tukang minyak tanah, Sofia lantas masuk ke kota Bandung, yang sejak Maret 1946 sudah dikuasai Belanda. Dia dan anak-anaknya kemudian tinggal bersama orangtua almarhum Kapten Edi. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sofia membuka warung nasi kecil-kecilan.