OPINI  

JUDICIAL REVIEW & PROBLEMATIKA UU MD3 : Menjaga Kehormatan Atau Kriminalisasi Terhadap Praktik Demokrasi

banner 728x90

Oleh : Bidang Kajian PSBH FH Unila 2018

Di Indonesia, sebagaimana di negara demokrasi lain, DPR juga merupakan lembaga perwakilan yang harus menjalankan fungsi representasi kepentingan rakyat. Hal ini ditegaskan di dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan secara eksplisit eksistensi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilu yang telah dipilih melalui pemilu. Sesuai dengan kata parliament , berasal dari kata parle, yang artinya bicara, maka anggota DPR seyogyanya punya tugas berbicara, menyampaikan suara yang diwakilinya. Karena itulah, Daniel Dhakidae menamakan fungsi parlemen tersebut sebagai kuasa wicara rakyat. Namun, apa jadinya apabila lembaga representatif rakyat yang fungsinya adalah mendengarkan asipirasi-aspirasi rakyat bersifat anti kritik, dan malah cenderung mengkriminalisasi rakyat.

Disahkannya revisi UU MD3 Pada tanggal 15 Maret 2018, yang telah resmi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU tersebut mengatur tentang wewenang, tugas, keanggotaan, hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksaan tugas MPR, DPR, DPRD dan DPD. Keberadaan UU ini menimbulkan kontroversi khusunya di kalangan mahasiswa yang menimbulkan gerakan baik secara litigasi melalui judicial review maupun selain dari itu berupa mobilisasi masa melalui aksi demonstrasi yang terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah.

1. Pasal-Pasal Inkonstitusional
a. Pasal 122 Huruf k
Ketentuan pasal ini berbunyi:
“Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Yang dimaksud pada Pasal 121A adalah:
“Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
a. pencegahan dan pengawasan; dan
b. penindakan.”
Seharusnya dilakukan pengujian kembali terhadap pasal tersebut. Karena pasal tersebut bertentangan dengan asas demokrasi. Pasal tersebut membatasi masyarakat untuk berpendapat terhadap kinerja DPR, bukankah kritik terhadap DPR tersebut dapat dijadikan anggota DPR untuk memperbaiki diri. Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 menyatakan:
“ kemerdekaan berserika dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya diterapkan dengan undang-undang.”
Jadi, kebebasan berpendapat yang dimaksudkan adalah bukan kebebasan tanpa batas tetapi kebebasan yang tetap dibatasi oleh undang-undang. Kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum juga harus berlandaskan:
• Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban
• Asas musyawarah dan mufakat
• Asas kepastian hukum dan keadilan
• Asas proporsionalitas
• Asas manfaat
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum Sebuah Pengantar mengartikan bahwa ultimum remidium sebagai alat terakhir, untimum remidium ini bisa menjadi premium remidium apabila terhadap suatu perbuatan sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut UU yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat misalnya kejahatan narkotika, penjatuhan hukuman mati merupakan pilihan utama ( premium remidium ).
M. Jasman (jaksa penuntut umum) dalam artikel JPU Tepis Ekspresi DL Sitorus mnjelaskan bahwa premium remidium merupakan suatu teori hukum pidana modern yang menyatakan hukum pidana sebagai sarana hukum yang diutamakan.
Pasal 122 hukuf K tersebut tidak mengindahkan prinsip ultimum remidium dalam hukum pidana, karena dalam pasal tersebut menjadikan langkah hukum sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persoalan, sedangkan sebelum mengambil tindakan hukum alangkah lebih baiknya jika diselesaikan secara kekeluargaan/musyawarah antara para pihak (anggota DPR dengan orang, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai merendahkan DPR), jika memang musyawarah tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut barulah mengambil langkah akhir yaitu mengambil tindakan hukum. Sehingga pasal tersebut telah inkonstitusional.

b. Pasal 245
Ketentuan Pasal ini berbunyi:
“(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan; (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a.Tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dankeamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; c. Atau disangka melakukan tindak pidana khusus.”
Pasal ini sangat kental dengan muatan politik sebagaimana kita ketahui banyak anggota DPR yang di duga melakukan korupsi dan terjerat oleh KPK. Contohnya adalah kasus mantan ketua DPR SN yang baru-baru ini menjadi perhatian publik diman KPK cukup kesulitan dalam melaukan penyidikan. Pasal ini cuma menyulitkan KPK untuk menangani kasus-kasus korupsi tersebut. Pasal tersebut digunakan sebagai tameng untuk melindungi perilaku koruptif dan penyalahgunaan kewenangan oleh para anggota DPR agar terhindar dari proses hukum. Selanjutnya, Pasal ini juga tidak mencerminkan adanya prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45 yang termaktub dalam Pasal 28D (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sehingga keberlakuan Pasal tersebut telah tidak sesuai dengan konstitusi.

2. Judicial Review Melalui Mahkamah Konstitusi

a. Mahkamah Konstitusi
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan konspesi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern, yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sehingga terhadap adanya norma atau aturan hukum seperti UU MD3 yang dianggap tidak serasi dengan norma yang lebih tinggi Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian.
Mahkamah Kontitusi sendiri mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) kontitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi. Sejak di inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, fungsi pelindung (protector) konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Akan tetapi, dalam penjelasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut:
“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap kosntitusi.”
Lebih jelas Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H. menguraikan sebagai berikut.
“ Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi mengakkan keadilan konstitutional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang Wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) memutus pembubaran partai politik; dan
d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berkaitan dengan wewenangnya tersebut, maka konsekuensi logisnya adalah UU MD3 sebagimana pembahasan di atas menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

b. Judicial Review
Secara teoritis setidaknya terdapat dua model pengujian undang-undang berdasarkan waktu pelaksanaanya, yaitu saat setelah menjadi undang-undang sebagaimana yang dilaksanakan model Indonesia sebagai Judicial Review, dan model pengujian sebelum diberlakukan sebagai undang-undang tetapi telah mendapatkan persetujuan bersama seperti yang dipraktekkan di Prancis dan disebut sebagai Judicial Preview.
Nah dari kedua model tersebut yang akan kita bahas lebih fokus kepada Judicial Review. Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan Judicial Review?? Ketika ditanya terkait persoalan ini kira-kira apa ya yang terpikir dibenak kita??
Jadi Judicial Review itu adalah pengujian kembali atau peninjauan kembali oleh pengadilan atau hakim terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan. Dalam hal ini pengujian yang dimaksud yaitu dilakukan oleh lembaga peradilan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan nya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Sedangkan wewenang Mahkamah Agung yaitu untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU yang dianggap bertentangan.
Pernah baca terkait UUMD3 yang sedang kontroversial?? Sebetulnya apa sih yang salah dari Undang-undang tersebut?? Ya UUMD3 kontroversial karena dianggap telah bertentangan dengan konstitusi negara kita UUD 1945. Sekarang coba kita kaitkan dengan Judicial Review !!
Kaitannya adalah ketika suatu Undang-undang yang telah diberlakukan kemudian dianggap bertentangan dengan konstitusi negara maka dapat diajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi oleh pihak yang menganggap hak dan /atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlaku nya Undang-undang tersebut. Nah siapa saja sih pihak yang dimaksud disini ?? ini dia ..
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK Menegaskan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan /atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlaku nya Undang-undang, yaitu :
1. Perorangan warga negara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
3. Badan hukum publik atau privat ; atau
4. Lembaga negara.

Dengan demikian, Mahkamah konstitusi sebagai the guardian of constitution dapat melakukan pengujian terhadap UU MD3 yang diajukan oleh setiap pihak yang dirugikan hak konstitusionalya melalui judicial review. Kalo menurut pendapat goals people gmna nh ?

banner 1080x1080
close
Banner iklan disini